Perkembangan
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
Pada
Masa Penjajahan Belanda
A.
Pendahuluan
Dalam
kehidupan setiap manusia, pada umumnya mengalami tiga peristiwa penting yaitu:
kelahiran, perkawinan dan kematian. Setiap peristiwa penting tersebut dapat
menimbulkan akibat-akibat hukum. Contohnya, kelahiran seseorang dapat
menimbulkan akibat-akibat hukum seperti, timbulnya hubungan hukum dengan orang
tuanya. Perkawinan dapat menimbulkan akibat-akibat hukum seperti timbulnya
hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antara suami isteri, yang selanjutnya
diatur dalam hukum Perkawinan. Kematian seseorang pun dapat menimbulkan
akibat-akibat hukum terutama kepada keluarganya, seperti beralihnya harta
kekayaan yang sudah meninggal kepada yang masih hidup. Masalah perpindahan
harta kekayaan yang sudah meninggal kepada yang masih hidup, selanjutnya diatur
dalam hukum Kewarisan.
Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan, Hukum Kewarisan adalah Hukum yang mengatur masalah perpindahan
harta kekayaan yang sudah meninggal (pewaris) kepada yang masih hidup (ahli
waris).
Hukum Kewarisan di Indonesia,
khususnya Hukum Kewarisan Islam, ini mengalami beberapa perkembangan dan dapat
digolongkan kedalam beberapa periode. Periode pertama ialah Hukum Kewarisan
Islam masa pra penjajahan (masa kerajaan-kerajaan), masa penjajahan Belanda,
masa kemerdekaan, dan masa reformasi.
Dikarenakan
begitu luasnya pembahasan mengenai perkembangan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, maka pemakalah hanya akan membahas mengenai Perkembangan Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia Masa Penjajahan Belanda.
Hukum Kewarisan Islam ini berkaitan
erat dengan Hukum Islam, sejarah Hukum Islam ini pada masa penjajahan Belanda
dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu masa teori Receptio in Complexu
dan masa teori Receptie.
Berdasarkan
sejarah Indonesia, tercatat bahwa pada abad keenam belas (1596 M) organisasi
perusahaan dagang Belanda yang dikenal dengan VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie) merapat di pelabuhan Banten, Jawa Barat. VOC ini semula hanya
bermaksud untuk berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya, tujuan tersebut
berubah haluan yaitu ingin menguasai kepulauan Indonesia, sehingga VOC
mempunyai dua fungsi, sebagai pedagang dan sebagai badan pemerintahan.
Dikarenakan VOC
ini memiliki fungsi sebagai badan pemerintahan maka diperlukan sebuah hukum
untuk daerah jajahannya ini. Hukum itu disebut dengan Burgerlijk Wetboek dan
Wetboek Van Koophandel, yang mulai di berlakukan pada tanggal 01 Mei 1848.
B.
Pembahasan
Pada masa penjajahan Belanda,
penduduk Indonesia dibagi kedalam tiga golongan[1],
yaitu:
1.
Golongan
Eropa
Yang termasuk
golongan ini ialah orang-orang Belanda, orang-orang yang berasal dari Eropa,
orang Jepang, orang-orang yang tidak termasuk Belanda dan Eropa lainnya, akan
tetapi taat pada hukum keluargayang sama dengan asas-asas hukum keluarga yang
terdapat dalam BW seperti Australia, Canada, Amerika dan lain-lain.
Hukum yang
berlaku untuk golongan ini adalah hukum perdata (BW) dan hukum dagang (WvK)
yang berlaku di Negara Belanda (azas konkordansi).
2.
Golongan
Timur Asing
Yang termasuk
golongan ini ialah orang-orang Tionghoa, Arab, India, Pakistan, Muangthai dan
lain-lain. Pada perkembangan selanjutnya, golongan ini dibedakan lagi, menjadi:
·
Golongan
Timur Asing Tionghoa
Hukum yang
berlaku untuk golongan ini, seluruh BW dan WvK, kecuali pasal-pasal tertentu
seperti tentang perkawinan. Untuk mereka diadakan Burgerlijk Stand (Pencatatan
Sipil) tersendiri dan diadakan juga peraturan khusus mengenai perkongsian dan
adopsi.
·
Golongan
Timur Asing bukan Tionghoa
Yang termasuk
golongan ini ialah orang-orang Arab, India, Pakistan, Muangthai dan lain-lain.
Hukum yang berlaku untuk mereka adalah kodifikasi hukum perdata Eropa, mengenai
harta kekayaan (vermogen srecht). Sedangkan mengenai hukum keluarga dan hukum
waris masih menggunakan hukum adat mereka.
3.
Golongan
Bumiputera
Yang termasuk
golongan ini ialah penduduk Indonesia asli. Hukum yang berlaku untuk golongan
bumiputera ini ialah:
·
Hukum
adat mereka (yang tidak tertulis)
·
Hukum
Eropa, mengenai perjanjian kerja (pasal 1601, 1602, 1603 BW, stbl. 1879 no.
256), perjudian dan pertaruhan (pasal 1788-1791 BW stbl. 1907 no. 306),
beberapa pasal WvK yaitu buku II (sebagian besar hukum laut) stbl. 1933 no. 49
jo stbl. 1934 no. 214 dan stbl. 1938 no. 2.
Pada waktu pertama kali VOC
menguasai Indonesia, kehidupan agama dan kebudayaan bangsa Indonesia kurang
mendapat perhatian. Setelah kekuasaan diambil oleh kerajaan Belanda (abad ke-18
M), barulah kehidupan agama dan kebudayaan mendapat perhatian. Belanda selalu
khawatir dan curiga terhadap perkembangan Islam di Indonesia, oleh karena itu
Belanda memperhatikan psikologi massa dengan membiarkan berlakunya hukum Islam
di Indonesia.[2]
Kemudian muncul penulis Belanda
yaitu Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845-1927), yang
merumuskan teori Receptio in Complexu. Menurut teori ini hukum ynag berlaku
bagi orang-orang Indonesia mengikuti hukum agamanya. Jadi menurut teori ini
“maka adat istiadat dan hukum sesuatu golongan (hukum) masyarakat adalah
resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Lebih
jelas; hukum (adat) sesuatu golongan (masyarakat) adalah hasil penerimaan
bulat-bulat dari (hukum) agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Jadi
hukum dari yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang beragama Hindu
adalah hukum Hindu”.[3]
Pada tahun 1882, pemerintah Belanda
di Indonesia, mendirikan pengadilan agama yang kemudian diiringi dengan
terbentuknya pengadilan tinggi agama (mahkamah syar’iyyah), berdasarkan stbl.
1882 no. 152. Sebelum stbl. 1882, telah keluar juga stbl. 1835 yang menyebutkan
bahwa sengketa atau perselisihan mengenai soal perkawinan dan warisan bagi
orang Islam harus diputus menurut hukum Islam. Dapat dikatakan bahwa munculnya
stbl. 1882 no. 152 ini dipengaruhi oleh teori dari Van den Berg, yaitu teori
Receptio in Complexu.
Namun
kemudian muncul sebuah teori baru yang menentang teori dari Van den Berg, yaitu
teori Receptie. Menurut teori ini “sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah
hukum adat asli. Ke dalam hukum adat ini memang telah masuk pengaruh hukum
Islam. Pengaruh hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan
diterima oleh hukum adat dan dengan demikian lahirlah dia keluar sebagai hukum adat
bukan sebagai hukum Islam”. Jadi dapat dikatakan bahwa untuk berlakunya hukum
Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat.
Munculnya teori
ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi jangan
sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh
peradaban Barat.[4]
Sebagai akibat dari munculnya teori
ini, pada tahun 1937 keluarlah Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda
tentang perubahan stbl. 1882 no. 152, yaitu dengan Surat Keputusan no. 9 Tahun
1937 termuat dalam stbl. no. 116 Tahun
1937 yang mulai berlaku 1 April 1937. Isi dari staatblad tersebut mengubah dan
mengurangi kekuasaan Pengadilan Agama. Berdasarkan pasal 2a staatblad itu,
masalah warisan bagi orang Islam Indonesia begitu juga masalah hadhonah, wakaf,
hibah, dan Baitulmal yang dahulu menjadi wewenang Pengadilan Agama, sekarang
menjadi wewenang Pengadilan Negeri. [5]
Pada
masa penjajahan Belanda, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia,
merupakan konkordansi dengan kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di
negeri Belanda. Oleh karena itu sistematika Kitab Undng-Undang Hukum Perdata di
Indonesia sama dengan sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) yang berlaku di Negara Belanda. Sistematikanya dibagi atas empat buku[6]
:
·
Buku
I : Tentang Orang dan Keluarga
(Personen en Familie Recht)
·
Buku
II : Tentang Benda dan Hukum
Waris (Zaken en Erf Recht)
·
Buku
III : Tentang Perikatan
(Verbintenissen Recht)
·
Buku
IV : Tentang Pembuktian dan
Daluarsa (Bewijs en Verjaring).
Dilihat
dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia pada masa penjajahan Belanda sempat diatur oleh[7]:
Ø Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPt/BW), Buku Ke II, Bab XII s/d
XVIII dari pasal 830-1130.
Ø Hukum Adat, yaitu dalam bagian hukum waris adat.
Ø Hukum Waris Islam, yaitu ketentuan hukum waris dalam fiqh Islam,
yang disebut Fiqh Mawaris atau Ilmu Faroidh.
Adapun
persamaan dan perbedaan antara ketentuan Hukum Waris BW, Hukum Waris Islam, dan
Hukum Waris Adat, sebagai berikut[8]
:
Ø Tentang Sebab Menerima Warisan
Menurut Hukum
Waris Islam, sebab menerima warisan adalah karena hubungan nasab/hubungan darah
atau kekeluargaan, karena perkawinan dank arena memerdekakan hamba sahaya
(wala’)
Menurut BW,
sebab menerima warisan adalah karena adanya hubungan nasab/hubungan darah atau
kekeluargaan (pasal 852 s/d 861), karena adanya wasiat (testamentair erfrecht),
karena undang-undang (wattelijk erfrecht).
Menurut Hukum
Adat, karena adanya hubungan nasab/hubungan darah atau kekeluargaan, karena
perkawinan dank arena pengangkatan anak.
Ø Tentang Pembunuhan
Menurut Hukum
waris Islam, BW, hukum waris adat, merupakan penghalang untuk menerima warisan.
Ø Tentang Perbedaan Agama
Perbedaan
disini ialah antara orang Islam dan non Islam.
Menurut hukum
waris Islam termasuk salah satu sebab terlarangnya seseorang menerima warisan
secara timbal balik.
Menurut BW dan
hukum waris adat, bukan merupakan sebab terlarangnya seseorang menerima
warisan.
Ø Tentang Wujud Harta Warisan
Menurut hukum
waris Islam dan Adat, wujudnya adalah keseluruhan harta peninggalan yang sudah
bersih setelah dikurangi kewajiban dari si pewaris.
Menurut BW,
wujudnya adalah seluruh hutang dan piutang si pewaris.
Ø Tentang Bagian Anak Laki-laki dan Anak Perempuan
Menurut hukum
waris Islam, bagian seorang anak laki-laki sebesar dua kali bagian seorang anak
perempuan, atau bagian seorang anak perempuan setengah dari bagian seorang anak
laki-laki.
Ø Tentang Kedudukan Isteri atau Suami
Menurut BW,
semula istri atau suami bukanlah ahli waris. Mereka baru akan menerima warisan
kalau sudah tidak ada keluarga sedarah sampai derajat ke 12. Menurut hukum
adat, isteri atau suami berhak menerima bagian dari harta bersama (gono gini)
mereka.
Menurut hukum
waris Islam, isteri atau suami sejak abad ke 7 M (yaitu sejak diturunkannya
wahyu kepada Nabi Muhammad SAW) sudah dinyatakan sebagai ahli waris. Artinya
isteri sebagai ahli waris suaminya dan suami sebagai ahli waris isterinya.
Ketentuan pewaris mereka langsung dinyatakan dalam Al-Qur’an (Surat An-Nisa).
Ø Tentang Pembatasan Wasiat
Dalam hukum
adat tidak diperbolehkan seorang peninggal warisan dengan hibah wasiat
mengenyampingkan seorang anak sama sekali dari pembagian warisan,
sekurang-kurangnya hibahnya warisan yang diberikan harus cukup untuk menjadi
bahan hidup secara pantas.
Menurut hukum
Islam, maksimal jumlah yang dapat diberikan dengan wasiat oleh si pewaris
kepada orang lain ialah 1/3 dari harta peninggalan.
Menurut BW, si
pewaris dengan wasiatnya tidak boleh mengeyampingkan para ahli waris yang
termasuk kepada Legitimaris (penerima legitieme portie). Hanya penentuannya
bukan dengan menyebutkan batas minimal yang dapat diwasiatkan sebagaimana dalam
hukum Islam, tetapi dengan menyebutkan batas minimal yang harus diterima
[1]
Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek), 1993 : Darul Ulum Pers, hlm. 3-7.
[2]
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia dan Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
[3]
Suparman Usman, op. cit., hlm. 32
[4]
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia dan Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
[5]
Suparman Usman, op. cit., hlm. 34
[6]
Ibid, hlm.12
[7]
Ibid, hlm. 16.
[8]
Ibid, hlm. 41-48