Translate

Selasa, 16 Oktober 2012


Perkembangan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
Pada Masa Penjajahan Belanda

A.    Pendahuluan
            Dalam kehidupan setiap manusia, pada umumnya mengalami tiga peristiwa penting yaitu: kelahiran, perkawinan dan kematian. Setiap peristiwa penting tersebut dapat menimbulkan akibat-akibat hukum. Contohnya, kelahiran seseorang dapat menimbulkan akibat-akibat hukum seperti, timbulnya hubungan hukum dengan orang tuanya. Perkawinan dapat menimbulkan akibat-akibat hukum seperti timbulnya hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antara suami isteri, yang selanjutnya diatur dalam hukum Perkawinan. Kematian seseorang pun dapat menimbulkan akibat-akibat hukum terutama kepada keluarganya, seperti beralihnya harta kekayaan yang sudah meninggal kepada yang masih hidup. Masalah perpindahan harta kekayaan yang sudah meninggal kepada yang masih hidup, selanjutnya diatur dalam hukum Kewarisan.
            Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan, Hukum Kewarisan adalah Hukum yang mengatur masalah perpindahan harta kekayaan yang sudah meninggal (pewaris) kepada yang masih hidup (ahli waris).
            Hukum Kewarisan di Indonesia, khususnya Hukum Kewarisan Islam, ini mengalami beberapa perkembangan dan dapat digolongkan kedalam beberapa periode. Periode pertama ialah Hukum Kewarisan Islam masa pra penjajahan (masa kerajaan-kerajaan), masa penjajahan Belanda, masa kemerdekaan, dan masa reformasi.
Dikarenakan begitu luasnya pembahasan mengenai perkembangan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, maka pemakalah hanya akan membahas mengenai Perkembangan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Masa Penjajahan Belanda.
            Hukum Kewarisan Islam ini berkaitan erat dengan Hukum Islam, sejarah Hukum Islam ini pada masa penjajahan Belanda dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu masa teori Receptio in Complexu dan masa teori Receptie.
            Berdasarkan sejarah Indonesia, tercatat bahwa pada abad keenam belas (1596 M) organisasi perusahaan dagang Belanda yang dikenal dengan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) merapat di pelabuhan Banten, Jawa Barat. VOC ini semula hanya bermaksud untuk berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya, tujuan tersebut berubah haluan yaitu ingin menguasai kepulauan Indonesia, sehingga VOC mempunyai dua fungsi, sebagai pedagang dan sebagai badan pemerintahan.
            Dikarenakan VOC ini memiliki fungsi sebagai badan pemerintahan maka diperlukan sebuah hukum untuk daerah jajahannya ini. Hukum itu disebut dengan Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Van Koophandel, yang mulai di berlakukan pada tanggal 01 Mei 1848.

B.     Pembahasan
Pada masa penjajahan Belanda, penduduk Indonesia dibagi kedalam tiga golongan[1], yaitu:
1.      Golongan Eropa
Yang termasuk golongan ini ialah orang-orang Belanda, orang-orang yang berasal dari Eropa, orang Jepang, orang-orang yang tidak termasuk Belanda dan Eropa lainnya, akan tetapi taat pada hukum keluargayang sama dengan asas-asas hukum keluarga yang terdapat dalam BW seperti Australia, Canada, Amerika dan lain-lain.
Hukum yang berlaku untuk golongan ini adalah hukum perdata (BW) dan hukum dagang (WvK) yang berlaku di Negara Belanda (azas konkordansi).

2.      Golongan Timur Asing
Yang termasuk golongan ini ialah orang-orang Tionghoa, Arab, India, Pakistan, Muangthai dan lain-lain. Pada perkembangan selanjutnya, golongan ini dibedakan lagi, menjadi:
·         Golongan Timur Asing Tionghoa
Hukum yang berlaku untuk golongan ini, seluruh BW dan WvK, kecuali pasal-pasal tertentu seperti tentang perkawinan. Untuk mereka diadakan Burgerlijk Stand (Pencatatan Sipil) tersendiri dan diadakan juga peraturan khusus mengenai perkongsian dan adopsi.
·         Golongan Timur Asing bukan Tionghoa
Yang termasuk golongan ini ialah orang-orang Arab, India, Pakistan, Muangthai dan lain-lain. Hukum yang berlaku untuk mereka adalah kodifikasi hukum perdata Eropa, mengenai harta kekayaan (vermogen srecht). Sedangkan mengenai hukum keluarga dan hukum waris masih menggunakan hukum adat mereka.
3.      Golongan Bumiputera
Yang termasuk golongan ini ialah penduduk Indonesia asli. Hukum yang berlaku untuk golongan bumiputera ini ialah:
·         Hukum adat mereka (yang tidak tertulis)
·         Hukum Eropa, mengenai perjanjian kerja (pasal 1601, 1602, 1603 BW, stbl. 1879 no. 256), perjudian dan pertaruhan (pasal 1788-1791 BW stbl. 1907 no. 306), beberapa pasal WvK yaitu buku II (sebagian besar hukum laut) stbl. 1933 no. 49 jo stbl. 1934 no. 214 dan stbl. 1938 no. 2.
Pada waktu pertama kali VOC menguasai Indonesia, kehidupan agama dan kebudayaan bangsa Indonesia kurang mendapat perhatian. Setelah kekuasaan diambil oleh kerajaan Belanda (abad ke-18 M), barulah kehidupan agama dan kebudayaan mendapat perhatian. Belanda selalu khawatir dan curiga terhadap perkembangan Islam di Indonesia, oleh karena itu Belanda memperhatikan psikologi massa dengan membiarkan berlakunya hukum Islam di Indonesia.[2]
Kemudian muncul penulis Belanda yaitu Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845-1927), yang merumuskan teori Receptio in Complexu. Menurut teori ini hukum ynag berlaku bagi orang-orang Indonesia mengikuti hukum agamanya. Jadi menurut teori ini “maka adat istiadat dan hukum sesuatu golongan (hukum) masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Lebih jelas; hukum (adat) sesuatu golongan (masyarakat) adalah hasil penerimaan bulat-bulat dari (hukum) agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Jadi hukum dari yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang beragama Hindu adalah hukum Hindu”.[3]
Pada tahun 1882, pemerintah Belanda di Indonesia, mendirikan pengadilan agama yang kemudian diiringi dengan terbentuknya pengadilan tinggi agama (mahkamah syar’iyyah), berdasarkan stbl. 1882 no. 152. Sebelum stbl. 1882, telah keluar juga stbl. 1835 yang menyebutkan bahwa sengketa atau perselisihan mengenai soal perkawinan dan warisan bagi orang Islam harus diputus menurut hukum Islam. Dapat dikatakan bahwa munculnya stbl. 1882 no. 152 ini dipengaruhi oleh teori dari Van den Berg, yaitu teori Receptio in Complexu.
Namun kemudian muncul sebuah teori baru yang menentang teori dari Van den Berg, yaitu teori Receptie. Menurut teori ini “sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Ke dalam hukum adat ini memang telah masuk pengaruh hukum Islam. Pengaruh hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh hukum adat dan dengan demikian lahirlah dia keluar sebagai hukum adat bukan sebagai hukum Islam”. Jadi dapat dikatakan bahwa untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat.
Munculnya teori ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat.[4]
            Sebagai akibat dari munculnya teori ini, pada tahun 1937 keluarlah Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tentang perubahan stbl. 1882 no. 152, yaitu dengan Surat Keputusan no. 9 Tahun 1937 termuat dalam stbl. no. 116  Tahun 1937 yang mulai berlaku 1 April 1937. Isi dari staatblad tersebut mengubah dan mengurangi kekuasaan Pengadilan Agama. Berdasarkan pasal 2a staatblad itu, masalah warisan bagi orang Islam Indonesia begitu juga masalah hadhonah, wakaf, hibah, dan Baitulmal yang dahulu menjadi wewenang Pengadilan Agama, sekarang menjadi wewenang Pengadilan Negeri. [5]
Pada masa penjajahan Belanda, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia, merupakan konkordansi dengan kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di negeri Belanda. Oleh karena itu sistematika Kitab Undng-Undang Hukum Perdata di Indonesia sama dengan sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang berlaku di Negara Belanda. Sistematikanya dibagi atas empat buku[6] :
·         Buku I             : Tentang Orang dan Keluarga (Personen en Familie Recht)
·         Buku II           : Tentang Benda dan Hukum Waris (Zaken en Erf Recht)
·         Buku III          : Tentang Perikatan (Verbintenissen Recht)
·         Buku IV          : Tentang Pembuktian dan Daluarsa (Bewijs en Verjaring).
Dilihat dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Kewarisan Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sempat diatur oleh[7]:
Ø  Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPt/BW), Buku Ke II, Bab XII s/d XVIII dari pasal 830-1130.
Ø  Hukum Adat, yaitu dalam bagian hukum waris adat.
Ø  Hukum Waris Islam, yaitu ketentuan hukum waris dalam fiqh Islam, yang disebut Fiqh Mawaris atau Ilmu Faroidh.
Adapun persamaan dan perbedaan antara ketentuan Hukum Waris BW, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Adat, sebagai berikut[8] :
Ø  Tentang Sebab Menerima Warisan
Menurut Hukum Waris Islam, sebab menerima warisan adalah karena hubungan nasab/hubungan darah atau kekeluargaan, karena perkawinan dank arena memerdekakan hamba sahaya (wala’)
Menurut BW, sebab menerima warisan adalah karena adanya hubungan nasab/hubungan darah atau kekeluargaan (pasal 852 s/d 861), karena adanya wasiat (testamentair erfrecht), karena undang-undang (wattelijk erfrecht).
Menurut Hukum Adat, karena adanya hubungan nasab/hubungan darah atau kekeluargaan, karena perkawinan dank arena pengangkatan anak.
Ø  Tentang Pembunuhan
Menurut Hukum waris Islam, BW, hukum waris adat, merupakan penghalang untuk menerima warisan.
Ø  Tentang Perbedaan Agama
Perbedaan disini ialah antara orang Islam dan non Islam.
Menurut hukum waris Islam termasuk salah satu sebab terlarangnya seseorang menerima warisan secara timbal balik.
Menurut BW dan hukum waris adat, bukan merupakan sebab terlarangnya seseorang menerima warisan.

Ø  Tentang Wujud Harta Warisan
Menurut hukum waris Islam dan Adat, wujudnya adalah keseluruhan harta peninggalan yang sudah bersih setelah dikurangi kewajiban dari si pewaris.
Menurut BW, wujudnya adalah seluruh hutang dan piutang si pewaris.
Ø  Tentang Bagian Anak Laki-laki dan Anak Perempuan
Menurut hukum waris Islam, bagian seorang anak laki-laki sebesar dua kali bagian seorang anak perempuan, atau bagian seorang anak perempuan setengah dari bagian seorang anak laki-laki.
Ø  Tentang Kedudukan Isteri atau Suami
Menurut BW, semula istri atau suami bukanlah ahli waris. Mereka baru akan menerima warisan kalau sudah tidak ada keluarga sedarah sampai derajat ke 12. Menurut hukum adat, isteri atau suami berhak menerima bagian dari harta bersama (gono gini) mereka.
Menurut hukum waris Islam, isteri atau suami sejak abad ke 7 M (yaitu sejak diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW) sudah dinyatakan sebagai ahli waris. Artinya isteri sebagai ahli waris suaminya dan suami sebagai ahli waris isterinya. Ketentuan pewaris mereka langsung dinyatakan dalam Al-Qur’an (Surat An-Nisa).
Ø  Tentang Pembatasan Wasiat
Dalam hukum adat tidak diperbolehkan seorang peninggal warisan dengan hibah wasiat mengenyampingkan seorang anak sama sekali dari pembagian warisan, sekurang-kurangnya hibahnya warisan yang diberikan harus cukup untuk menjadi bahan hidup secara pantas.
Menurut hukum Islam, maksimal jumlah yang dapat diberikan dengan wasiat oleh si pewaris kepada orang lain ialah 1/3 dari harta peninggalan.
Menurut BW, si pewaris dengan wasiatnya tidak boleh mengeyampingkan para ahli waris yang termasuk kepada Legitimaris (penerima legitieme portie). Hanya penentuannya bukan dengan menyebutkan batas minimal yang dapat diwasiatkan sebagaimana dalam hukum Islam, tetapi dengan menyebutkan batas minimal yang harus diterima


[1] Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), 1993 : Darul Ulum Pers, hlm. 3-7.
[2] Perkembangan Hukum Islam di Indonesia dan Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
[3] Suparman Usman, op. cit., hlm. 32
[4] Perkembangan Hukum Islam di Indonesia dan Positivisasi Hukum Islam di Indonesia
[5] Suparman Usman, op. cit., hlm. 34
[6] Ibid, hlm.12
[7] Ibid, hlm. 16.
[8] Ibid, hlm. 41-48