Translate

Selasa, 12 Januari 2016

Kekuasaan Mahkamah Agung



Ø  Kekuasaan Mahkamah Agung
Mengenai Mahkamah Agung, diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Adapun point-point penting yang terkandung dalam undang-undang diatas ialah sebagai berikut:
1.         Pengadilan:
a.         Tingkat pertama (PN, PA, PTUN, PM) berada di setiap kota atau kabupaten.
b.         Tingkat banding (PT, PTA, PTTUN, PTM) berada di provinsi (ibu kota provinsi). Jika di satu provinsi belum ada pengadilan tingkat banding maka permohonan banding dapat diajukan ke pengadilan tingkat banding yang terdekat.
c.         Tingkat kasasi (MA) berada di ibu kota negara.
2.      Kekuasaan Mahkamah Agung:
Terdapat dalam pasal 28, yang isinya adalah Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a.       Permohonan kasasi,
b.      Sengketa kewenangan mengadili, dan
c.       Permohonan Peninjauan Kembali (PK), serta
d.      Memberikan pendapat atau fatwa jika diminta oleh pemerintah atau Presiden.
3.      Kasasi:
Diatur dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Adapun alasan-alasan yang dikehendaki untuk dapat mengajukan kasasi adalah sebagai berikut:
a.       Apakah perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan tingkat pertama atau banding melebihi kewenangan atau tidak?
b.      Salah menerapkan atau waktu yang berlaku (Undang-Undang yang dipakai salah).
c.       Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian hukum dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
4.      Sengketa Kewenangan Mengadili:
a.       Mahkamah Agung menyerahkan perkara tersebut ke pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan memutusnya, atau
b.      Mahkamah Agung membatalkan putusan kemudian memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi yang isinya berbeda dengan isi putusan yang dimohonkan kasasi.
Seorang hakim agung dapat membatalkan suatu putusan dengan mengadili sendiri (Pasal 51 ayat (2)).
5.      Macam-macam Putusan Mahkamah Agung:
a.
Bukan putusan akhir
:
Mengembalikan berkas kepada pengadilan di bawahnya untuk dilakukan pemeriksaan tambahan karena adanya fakta yang belum jelas.
b.
Putusan akhir
:
1)         Menguatkan putusan PT, PN, PTA, PA, PTM, PM, PTTUN, PTUN.
2)         Menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima (NO).
3)         Membatalkan putusan pengadilan dibawahnya karena, a) melanggar undang-undang, b) salah menggunakan undang-undang, c) menyalahi wewenang, d) menunjuk pengadilan yang berwenang.

Catatan kuliah tanggal 4 Oktober 2013.

Sumber Hukum dan Asas Hukum Acara Perdata



Ø  Sumber Hukum Acara Perdata
1.        Zaman penjajahan Belanda.
a.  Rv
:
Aturan yang mengatur khusus untuk golongan Eropa.
b.     HIR
:
Aturan yang mengatur khusus untuk golongan Bumi Putera Jawa-Madura.
c.     Rbg
:
Aturan yang mengatur khusus untuk golongan Bumi Putera di luar Jawa-Madura.
*Golongan Eropa dianggap memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding golongan bumi putera. Adapun golongan bumi putera di luar Jawa-Madura dinilai lebih keterbelakang.
*Golongan bumi putera tidak dapat mengintervensi hukum untuk golongan Eropa adapun sebaliknya golongan Eropa dapat mengintervensi hukum untuk golongan bumi putera.
2.        Zaman Sekarang
a.       HIR dan RBg.
b.      UU No. 20/1947 Tentang Banding Jawa dan Madura.
c.       UU No. 14/1970 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. UU No. 35/1999 jo. UU No. 4/2004 jo. UU No. 48/2009.
d.      UU No. 1/1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan dan PP No. 9/1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974 dan PP No. 45/1990 Tentang Perkawinan dan Perceraian untuk Pegawai Negeri Sipil.
e.       UU No. 14/1985 Tentang Mahkamah Agung jo. UU No. 5/2004 jo. UU No. 3/2009.
f.       UU No. 2/1986 Tentang Peradilan Umum jo. UU No. 8/2004 jo. UU No. 49/2009.
g.      UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama jo. UU No. 3/2006 jo. UU No. 50/2009.
h.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ke-4 Tentang Pembuktian dan Daluarsa.
i.        Yurisprudensi (Putusan-putusan yang terdahulu yang dijatuhkan hakim/pengadilan yang dijadikan rujukan).
j.        Perma (Peraturan Mahkamah Agung).
k.      Hukum Adat.
l.        Doktrin atau Pendapat Sarjana.

Ø  Asas Hukum Acara Perdata
1.        Hakim bersifat menunggu.
Hakim tidak mencari perkara melainkan menunggu perkara yang masuk ke pengadilan. Ps. 118 HIR/Ps. 142 RBg.
2.        Hakim bersifat pasif.
Dalam perdata,  mengejar kebenaran formil (mencari kebenaran sebatas apa yang diajukan oleh yang berperkara) bukan kebenaran materiil (pidana). Ps. 178 HIR/Ps. 189 RBg.
3.        Persidangan terbuka untuk umum.
Kecuali di Pengadilan Agama (perkara perceraian) dan dalam pidana (kasus anak-anak). Ps. 13 (1) UU No. 48/2009.
4.        Mendengarkan kedua belah pihak berbicara.
5.        Putusan harus disertai dengan alasan.
6.        Berperkara dikenai biaya.
Dalam pidana, biaya ditanggung oleh negara sedangkan dalam perdata, biaya ditanggung oleh orang yang mencari keadilan (para pihak berperkara).
7.        Tidak ada keharusan untuk mewakilkan.
8.        Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
9.        Objektifitas.
Pengadilan mengadili dengan hukum tanpa membeda-bedakan orang.
10.    Persidangan berbentuk majelis (minimal tiga orang).
11.    Pemerikasaan dalam dua tingkat.
-Pemeriksaan Judex Factie, yaitu pemeriksaan di tingkat pertama dan banding, pemeriksaan langsung kepada yang berperkara.
-Pemeriksaan Judex Luris, yaitu pemeriksaan di tingkat kasasi (Mahkamah Agung), pemeriksaan antara putusan tingkat pertama dan banding, pemeriksaan ini lebih menitikberatkan kepada hakimnya.

Catatan kuliah tanggal 27 September 20013.