Translate

Sabtu, 14 Desember 2013

puisi puisi puisi

Kembali lagi menulis puisi. Yaaay !!   \^o^ /  Kali ini puisinya tentang kehilangan. 

-tanpa judul-

Ku lari sesisir pantai
Angin semilir menyentuh wajahku
Kicauan burung beralun merdu
Ombak bergemuruh mengisyaratkan hatiku

Cintaku pergi saat dimulai
Entah apa yang terjadi?
Cintaku hilang bak diterjang badai
Raib dan tak ada tanda kan kembali

Salahkah cinta ini? Dimana letaknya?
Di lautan, di langit, atau dijagat rayakah?
Mengapa saat ku harap cinta datang ia pergi?
Mungkin takdir cintaku bukan untukmu


=> Puisi ini bikinan Meli Rosyani. Walau ada yang aku edit sedikit-sedikit. Dengan seizin beliau kok. hehe :) Makasih nyooo :*


-tanpa judul-

Senyummu hangatkan kebekuan hati ini
Tawamu berikan kekuatan kerapuhan hati ini
Sederet katamu sirami kekeringan hati ini
Kau telah menyentuh dasar hati ini

Tirai kegelapan dalam hidupku menghilang
Tergantikan sinarmu yang cemerlang
Buat hari ku berwarna
Semua terasa indah dan sempurna

Entah apa yang salah
Kau pergi menjauh
Tinggalkanku disaat bunga merekah dalam hati
Apakah bunga ini akan layu kembali??

Ku tunggu dirimu
Menunggu dirimu kembali sentuh hati ini
Kembali cerahkan hariku
Kembali sirami bunga di hati

Tapii...
Ternyata kau tak pernah kembali
Tak menengok kembali kenangan kita
Tak ingat lagi akan diri ini

Haruskah aku lupakan semuanya?
Seakan kau hanyalah ilusi semata
Semuanya terlalu manis untuk dilupakan
Tapi  terlalu sakit untuk diingat

Hatiku berdenyut sakit
Rindu akan hadirmu
Rindu akan senyum dan tawa mu
Rindu semua tentangmu dalam nafasku

Tirai kegelapan kembali menutup hatiku
Selimuti perasaan ini kembali
Mencoba menghadang kembali cinta
Karena bunga di hatiku telah mati


=> Hasil karya aku sendiri.  :D







Kamis, 12 Desember 2013

puisi puisi puisi ^^

~tanpa judul~


Akankah aku jadi gila??
Di himpit emosi tak bertuan.
Di tindih kebrutalan hidup.
Di jatuhi beban seberat gunung.
Sesak berat tak tertahankan.

Akankah aku sanggup lewati semua  belukar ini?
Inginku lari dan tinggalkan semua.
Lepaskan semua beban di atas pundak ini.
Terbang lewati awan dan capai langit tertinggi.

Tapi kenyataan menghempaskan diri ini.
Kembali menapaki tanah keputus asaan.
Kembali menjalani kejenuhan hari.
Kembali menghadapi kegilaan ini.

Pada akhirnya diri ini harus dapat berkompromi.
Berkompromi dengan kenyataan hidup.
Menelan semua sendiri tanpa kawan.
Merasakan pahit getirnya kenyataan.

Berjuang menaklukkan kegilaan dalam diri.
Mengalahkan amarah dan kedengkian hati.
Mencoba berdiri tegak hadapi semua.
Dengan doa dan tafakur di hadapan Tuhan Yang Maha Agung.

Kamis, 21 Maret 2013

Politik Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Membahas mengenai politik maka dengan otomatis membahas masalah negara. Banyak studi dan kajian yang dilakukan para ahli terhadap masalah politik, dikarenakan begitu kompleksnya masalah politik tersebut. Hal ini antara lain disebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Agama Islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh, diyakini mengandung  kajian masalah politik dan kenegaraan. Di dalam Al-Qur’an tertuang prinsip-prinsip politik yang menjadi dasar politik Islam.

B.     Rumusan Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam menyusun makalah ini, maka penulis merumuskan masalah-masalah yang akan di bahas, diantaranya :
1.      Apa itu politik Islam ?
2.      Apa saja karakteristik dari politik Islam ?
3.      Bagaimana kondisi politik pada masa Rasulullah ?
4.      Bagaimana perkembangan politik Islam di Indonesia dari masa ke masa ?
5.      Apa pandangan syari’ah, fiqh, fatwa, qanun, dan qadha mengenai politik ?














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Politik Islam
            Secara bahasa, politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang berarti kota atau negara kota. Sedangkan dalam bahasa Arab, politik disebut dengan siyasah yang secara harfiah berarti mengurus, memimpin atau mengendalikan.
            Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadarminta, politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan dan  tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.[1]
            Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan politik sama seperti membicarakan negara atau tata pemerintahan, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat. Selain itu, politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara, hakekat negara serta bentuk dan tujuan negara.[2]
            Dalam Islam, politik ini disebut dengan Siyasah Syari’iyyah yang berarti ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah kenegaraan yang berdasarkan syari’at Islam. Berdasarkan hadist Rasulullah SAW. : “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa politik dalam Islam  itu mengenai mengurusi urusan masyarakat, dengan memperhatikan kondisi masyarakat dan menghilangkan kekuasaan yang dzalim.






B.     Karakteristik Politik Islam
      Menurut Abu Ridha, karakteristik politik Islam itu setidaknya ada sebelas karakteristik, yaitu[3] :
1.      Rabbaniyah
Yaitu dalam penyusunan sistemnya, politik islam ini bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Para pelaku politiknya pun berpolitik dengan tujuan untuk mencari keridhoan dari Allah SAW.
2.      Syariyah
Maksudnya semua penerapan kekuasaan siasah harus memperoleh legalitas syariah.
3.      Seimbang
Yaitu seimbang antara urusan dunia dan akhirat, karena ajaran Islam meliputi semua sisi kehidupan manusia.
4.      Adil
Tegaknya keseimbangan sangat bearkaitan dengan tegaknya keadilan. Sedangkan tegaknya keadilan merupakan syarat lahirnya kesejahteraan suatu negeri. Dengan begitu maka dapat dikatakan keadilan sebagai pusat gerak dari nilai-nilai moral yang pokok, haruslah menjadi poros akitivitas kemanusiaan, baik aktivitas yang menyangkut persoalan individu ataupun kemasyarakatan.
5.      Moderat (Wasathiyah)
Yaitu sifat pertengahan, maksudnya politik Islam tidak berlebihan dalam satu sisi aktivitas berpolitik dan tidak pula mengabaikannya.
6.      Alamiah dan manusiawi
Kealamian dan kemanusiawian politik Islam dapat dirunut melalui doktrin Islam tentang kekuasaan. Dalam pandangan Islam kekuasaan mutlak, hanyalah milik Allah SWT. Atas dasar ini maka politik Islam identik dengan pelestarian keteraturan alam yang telah diciptakan Allah SWT. Oleh sebab itu segala aktivitasnya selalu bersifat alamiah.
7.      Egaliter
Dalam kajian sosial egalitarianisme dipahami sebagai sebuah pandangan yang meyakini bahwa semua manusia itu sederajat dan harus diperlakukan sama dalam kebebasan, hak-hak, penghargaan, penerimaan, kesempatan dan lain-lain.
8.      Memerdekakan
Watak politik Islam yang alamiah, manusiawi dan egaliter berkonsekuensi pada menjunjung tinggi nilai-nilai kemnusian universal. Kemerdekaan adalah salah satu nilai kemanusiaan paling fundamental.Adapun kemerdekaan atau kebebasan yang ditekankan dan dilindungi oleh politik Islam ialah kebebasan yang bertanggung jawab, atau kebebasan yang dilaksanakan atau dinyatakan dalam rangka rasa tanggung jawab.
9.      Bermoral
Moral dan upaya menjunjung tinggi akhlak mulia menjadi karakteristik politik Islam yang penting, karena moral dan akhlak menjadi ukuran tingkat keimanan dan keislaman seseorang. Moral dan akhlak yang mulia haruslah selalu melekat dalam setiap aktivitas politik seorang muslim, baik dia sebagai pemimpin ataupun sebagai rakyat.
10.  Orientasi Ukhrawi
Politik Islam mengorientasikan pengelolaan peradaban di dunia sekarang ini, baik secara teoretis ataupun secara praktis, adalah untuk terwujudnya kebahagiaan hidup di akhirat nanti. Hal ini tercermin dalam tujuan politik Islam, yaitu terciptanya kehidupan yang sejahtera dunia dan akhirat.
11.  Orientasi Pelayanan
Politik Islam tidak hanya berorientasi kekuasaan, justru secara fundamental aktivitas politik Islam harus memiliki tanggung jawab dalam memerhatikan dan melayani semua yang berada dalam kekuasaannya, terutama mereka yang lemah secara sosial dan ekonomi.









C.    Politik pada Masa Rasulullah SAW.
         Misi Rasulullah membawa bangsa Arab ke jalan kebenaran langsung berhadapan dengan kendala-kendala politik. Kepala-kepala Kabilah yang melakukan konfederasi dalam memimpin masyarakatnya, secara keseluruhan menentang dakwah Nabi Muhammad SAW.[4]
         Setelah Abu Thalib dan Khadijah meninggal pada tahun ke-10 kenabian, oposisi pihak Quraisy kepada Rasulullah dan para pengikutnya yang belum banyak itu semakin gencar. Sehingga Nabi memilih untuk hijrah ke Yastrib yang kemudian diganti menjadi Madinah pada 12 Rabi’ul Awal 1 H.[5]
         Sambutan penduduk Madinah kepada Nabi sangat baik khususnya keluarga Bani Aus dan Khazraj. Akan tetapi berbeda dengan Mekkah yang dikuasai suku Quraisy yang relatif homogen, penduduk Madinah bercorak heterogen. Pada saat itu, penduduk Madinah terdiri atas[6]:
·   Muslim pendatang dari Mekkah (kaum Muhajirin).
·   Muslim Madinah (kaum Anshar) yang terdiri atas suku Aus dan suku Khazraj,
·   Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menyembah berhala, tetapi kemudian masuk Islam, yaitu bani Qainuga, bani Nadhir, bani Quraizhi, serta subsuku-subsuku lainnya.
         Pada tahun 622 M, Nabi Muhammad SAW. mengeluarkan Piagam Madinah yang ditujukan kepada kaum Muhajirin, Anshar, dan kaum Yahudi. Piagam ini sering juga disebut dengan Dustur Madinah, UUD Madinah, atau Konstitusi Madinah.[7]
         Ada dua landasan bagi kehidupan bernegara yang diatur dalam Piagam Madinah, yaitu[8]:
a)      Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun  mereka berbeda suku.
b)      Hubungan antara komunitas muslim dan nonmuslim didasarkan pada prinsip: bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama.
              Secara strategis, piagam ini bertujuan untuk terciptanya keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya. Piagam ini juga dapat dikatakan bersifat revolusioner karena menentang tradisi kesukuan yang saat itu berkembang di Jazirah Arab, yaitu dengan menyebutkan bahwa semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka (kaum Muhajirin dan Anshar) berbeda suku. [9]
              Pada masa Nabi Muhammad SAW., struktur politik masih sangat sederhana. Kedudukan Nabi Muhammad SAW. sangat khusus. Nabi Muhammad memegang otoritas ukhrawi (sebagai rasul) dan otoritas duniawi (sebagai kepala negara dan hakim). Pada masa Nabi Muhammad SAW-lah ditemukannya lembaga baitul mal (kas negara) yang berfungsi sebagai pengumpulan zakat dan harta pampasan perang.[10]
              Sistem pemerintahan pra Islam di Wilayah Jazirah Arab berbeda-beda, sesuai dengan faktor geografis dan faktor kesejarahan daerah pedalaman dan perkotaan. Daerah pedalaman ditandai oleh kepemimpinan absolute kepala suku dan kepatuhan seluruh anggotanya. Sedangkan untuk daerah perkotaan, dibagi dua yaitu bagian utara (Yaman dan sekitarnya) dengan selatan (Hijaz). Di bagian utara, kesatuan politiknya relatif utuh, ditandai dengan adanya penguasa yang harus ditaati dan ada perundang-undangan. Sedangkan di bagian selatan belum seperti itu, kota-kota di bagian selatan pun seperti, Mekkah, Madinah dan Thaif memiliki otonomi tersendiri yang selalu diwarnai dengan pertikaian dan pesaingan.[11]
              Nabi Muhammad sebagai kepala negara, tidak pernah berusaha untuk merubah keseluruhan sistem pemerintahan tersebut. Ajaran-ajaran Islam yang dibawa Nabi, diharapkan menjadi landasan ideologis pelaksanaan pemerintahan sehingga sistemnya tidak berubah, akan tetapi isinya berubah. Jika pada saat sebelumnya yang mempersatukan mereka adalah ikatan kesukuan, maka setelah kedatangan Islam, yang mempersatukan mereka adalah ikatan keagamaan.[12]
              Saat menjalankan perannya sebagai kepala negara, dalam megambil keputusan, Nabi Muhammad SAW. ada kalanya Nabi berkonsultasi dengan para sahabat senior yang merupakan ahlul-halli wa-aqdi, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan Nabi. Ada kalanya Nabi tidak berkonsultasi dengan para sahabat, dan ada kalanya pula dituntun oleh wahyu sebagai solusi bagi masalah tertentu.[13]




D.             Perkembangan Politik Islam di Indonesia.
1.               Pada masa Orde Lama.
           Suasana sosial-politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Kelompok Islam menjadikan Masyumi sebagai organisasi politik untuk menyuarakan aspirasi mereka. Pada pemilihan umum di Jawa pada 1946, dan pemilihan umum di Yogyakarta pada 1951, Masyumi memperoleh mayoritas suara mutlak atau paling tidak lebih banyak dibanding kontestan lainnya.[14]
           Akan tetapi keutuhan Masyumi diuji dengan keputusan NU keluar dari Masyumi. Perkembangan selanjutnya anggota-anggota yang menjadi pendukung Masyumi, seperti Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, al-Ittihadiyah, al-Jami’ah al-Washliyah, al-Irsyad, dan Persis keluar dari Masyumi. Akhirnya pada tahun 1960, Masyumi dibubarkan oleh presiden sebagai akibat dari tuduhan presiden kepada para tokoh Masyumi, terlibat dalam pemberontakan PPRI.[15]
Soekarno kemudian menggagas ide yang ingin menyatukan paham Nasionalisme, Islam dan Komunisme (NASAKOM). Ide ini mendapat reaksi keras dari umat Islam akan tetapi secara mengejutkan NU mendukung ide ini, bahkan NU member gelar Waliyyul Amri Dharury bisy Syaukah kepada Soekarno.
           Pada masa ini, peranan partai Islam mengalami kemerosotan. Soekarno semakin memperlihatkan otoritasnya sebagai penguasa. Pancasila ditafsirkan sesuai keinginannya. PKI pun muncul sebagai partai yang kuat dengan mulai melakukan maneuver-manuver politiknya.
2.               Pada Masa Orde Baru.
    Masyumi yang telah diberhentikan pada masa Orde Lama, mengajukan untuk direhabilitasi namun ditolak oleh pemerintah. Sebagai kompensasinya pemerintah mengizinkan pendirian partai baru untuk menampung para mantan aktivis Masyumi. Nama partai tersebut adalah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan pimpinannya Hadikusumo dan Lukman Harun.
     Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah Orde Baru semakin memperlihatkan sikap represifnya terhadap kaum muslimin. Setiap organisasi Islam harus mengganti asas organisasinya dengan asas tunggal Pancasila, dan partai yang dibolehkan haya tiga partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia.[16]
      Menurut Din Syamsudin, agenda politik Orde Baru mencakup depolitisasi Islam. Proyok ini, menurutnya, didasarkan pada anggapan bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi.Dengan mendepolitisasi Islam, mereka akan mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Jadi dapat dikatakan, pada masa Orde Baru ini, Islam secara politik medapatkan tekanan dari berbagai sudut.
3.               Pada Masa Reformasi
     Pada masa reformasi, demokrasi telah diterapkan secara meluas. Hal itu tercermin dari kebebasan  mendirikan  partai politik, tidak terkecuali partai-partai Islam. Hal ini mempengaruhi ulama untuk kembali aktif di dunia politi dengan terjun langsung untuk memenangkan partai tertentu sesuai dengan posisinya.[17]
Pemilu 1999 telah membawa ulama ikut kembali secara mandiri di dalam pemerintahan, sehingga beberapa ulama telah duduk di legislatif. Peran ulama dalam politik terus berlanjut. Pada tahun 2008, terpilih Ahmad Heriawan dan Dede Yusuf sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat. Mereka adalah calon dari partai Islam, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan partai berbasis massa Islam, Partai Amanat Nasional. Dapat dikatakan pada masa Reformasi, politik Islam mengalami kemajuan dibandingkan pada masa Orde Lama dan Orde Baru.

E.              Politik dalam pandangan syari’ah, fiqh, fatwa, qanun, qadha.
1.               Politik dalam pandangan syari’ah.
           Dalam bahasa Arab, politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah, dari akar kata sasa-yasusu yang berarti mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dalam Al-Quran tidak ditemukan  kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun bukan berarti Al-Quran tidak menguraikan soal politik. Uraian Al-Quran tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang bermakna sejalan dengan kata sasa-yasusu-sais siyasat, yaitu mengemudikan, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.[18]
           Dalam Al-Qur’an ditemukan dua puluh kali kata hikmah, kesemuanya dalam konteks pujian. Slah satu di antaranya adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 269:
ÎA÷sムspyJò6Åsø9$# `tB âä!$t±o 4 `tBur |N÷sムspyJò6Åsø9$# ôs)sù uÎAré& #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 3 $tBur ㍞2¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÏÒÈ  
Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).
2.               Politik dalam pandangan fiqh.
           Politik di dalam fiqh, terdapat bahasan tersendiri, yaitu fiqh siyasah. Di dalam fiqh siyasah ini siyasah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
·                  Siyasah dusturiyah, siyasah yang membahas mengenai peraturan dasar tentang bentuk pemerintahan dan batasannya, hubungan antara rakyat dengan penguasanya dan segala rutinitas politik di dalam suatu negara.
·                  Siyasah maliyah, siyasah yang membahas mengenai peraturan perekonomian yang bersifat publik.
·                  Siyasah dauliyah, siyasah yang membahas mengenai peraturan pergaulan internasional.

3.               Politik dalam pandangan fatwa.
           Fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mengenai pengajuan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menurutnya :
“Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT. [19]

4.               Politik dalam pandangan qanun.
           Contoh Qanun mengenai politik, yaitu Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang partai politik lokal peserta pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.

5.               Politik dalam pandangan qadha.
           Ada dua orang yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan Islam dalam berbagai hal ialah, khalifah dan Qadhi (hakim). Khalifah menjalankan hukum-hukum Islam dan menerapkannya kepada seluruh rakyat, sedangkan hakim mengambil putusan-putusan secara Islami untuk kondisi-kondisi yang berbeda berdasarkan sumber-sumber (seperti Al-Qur’an, As-Sunnah dan segala sesuatu yang berasal dari keduanya) dan menggunakannya. Karena itu peradilan merupakan salah satu pilar fundamental dalam negara Islam dan diatas hal inilah sistem pemerintahan disandarkan sebagai bagian implementasi Islam dalam kehidupan politik.[20]























                             BAB III
                      KESIMPULAN

1)      Politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan dan  tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadarminta. Sedangkan dalam Islam, politik adalah mengenai mengurusi urusan masyarakat, dengan memperhatikan kondisi masyarakat dan menghilangkan kekuasaan yang dzalim.
2)      Karakteristik politik Islam menurut Abu Ridha adalah, rabbaniyah, syariyah, seimbang, adil, moderat (wasathiyah), alamiah dan manusiawi, egaliter, memerdekakan, bermoral, orientasi ukhrawi, orientasi pelayanan.
3)      Pada masa Nabi Muhammad SAW., struktur politik masih sangat sederhana. Kedudukan Nabi Muhammad SAW. sangat khusus. Nabi Muhammad SAW. memegang otoritas ukhrawi (sebagai rasul) dan otoritas duniawi (sebagai kepala negara dan hakim).
4)      Politik Islam di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru banyak mendapat tekanan, walaupun tidak secara terang-terangan. Berbeda dengan masa Orde Lama maupun Orde Baru, pada masa Reformasi, politik Islam mulai berkembang. Hal ini terlihat dengan berjamurnya partai-partai politik yang berbasis Islam.
5)      Beberapa pandangan mengenai politik:
·         Syari’ah : Uraian mengenai politik dalam Al-Qur’an dapat dipahami dalam kata-kata   hukum atau hikmah.
·         Fiqh : Politik dalam fiqh memiliki bahasan tersendiri, yaitu dalam fiqh siyasah.
·         Fatwa : Fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz yang menyatakan bahwa boleh untuk mencalonkan menjadi anggota parlemen asal alasannya memang benar dan bermaksud baik.
·         Qanun : Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang partai politik lokal peserta pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.
·         Qadha : Peradilan merupakan salah satu pilar fundamental dalam negara Islam dan diatas hal inilah sistem pemerintahan disandarkan sebagai bagian implementasi Islam dalam kehidupan politik.
DAFTAR PUSTAKA

Azis Thaba, Abdul. Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru. 1996. Jakarta. Gema Insani Press.
Ridha, Abu. Karakteristik Politik Islam. 2004. Bandung. Syaamil Cipta Media.
Rosyada, Dede. Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III). 1993. Jakarta. RajaGrafindo Persada.
Syafii Maarif, Ahmad. Islam Dan Politik : Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). 1996.  Jakarta. Gema Insani Press.
Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. 2008. Yogyakarta. MedPress.
http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172036-definisi-politik-islam/
http://muhammadaiz.wordpress.com/materi-peradilan-islam-di-indonesia/
http://taufiqmtk08.wordpress.com/2009/04/21/pandangan-islam-terhadap-politik/
http://www.warta.uika-bogor.ac.id/2011/07/islam-di-indonesia-masa-orde-lama-orde.html



[1] http://kamalsukses.blogspot.com/2012/01/makalah-politik-islam.html
[2] http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172036-definisi-politik-islam/
[3] Abu Ridha, Karakteristik Politik Islam, 2004, Bandung : PT. Syamil Cipta Media, hlm. 11-171
[4] Drs. Dede Rosyada, M.A., Hukum Islam dan Pranata Sosial, 1995, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 164.
[5] Dr. Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), 1965, Jakarta : Gema Insani Press, hlm. 141-142.
[6] Drs. Abdul Azis Thaba, M.A., Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, 1996, Jakarta : Gema Insani Press, hlm. 97-98.
[7] Ibid, hlm. 98.
[8] Ibid.
[9] Dr. Ahmad Syafii Maarif, op. cit., hlm.147.
[10] Drs. Abdul Azis Thaba, M.A., op. cit., hlm. 96.
[11] Ibid, hlm. 97.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] http://www.warta.uika-bogor.ac.id/2011/07/islam-di-indonesia-masa-orde-lama-orde.html
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[18] http://taufiqmtk08.wordpress.com/2009/04/21/pandangan-islam-terhadap-politik/
[19] http://taufiqmtk08.wordpress.com/2009/04/21/pandangan-islam-terhadap-politik/
[20] http://muhammadaiz.wordpress.com/materi-peradilan-islam-di-indonesia/