Kembali lagi menulis puisi. Yaaay !! \^o^ / Kali ini puisinya tentang kehilangan.
-tanpa judul-
Ku lari sesisir pantai
Angin semilir menyentuh wajahku
Kicauan burung beralun merdu
Ombak bergemuruh mengisyaratkan hatiku
Cintaku pergi saat dimulai
Entah apa yang terjadi?
Cintaku hilang bak diterjang badai
Raib dan tak ada tanda kan kembali
Salahkah cinta ini? Dimana letaknya?
Di lautan, di langit, atau dijagat rayakah?
Mengapa saat ku harap cinta datang ia pergi?
Mungkin takdir cintaku bukan untukmu
=> Puisi ini bikinan Meli Rosyani. Walau ada yang aku edit sedikit-sedikit. Dengan seizin beliau kok. hehe :) Makasih nyooo :*
-tanpa judul-
Senyummu hangatkan kebekuan hati ini
Tawamu berikan kekuatan kerapuhan hati ini
Sederet katamu sirami kekeringan hati ini
Kau telah menyentuh dasar hati ini
Tirai kegelapan dalam hidupku menghilang
Tergantikan sinarmu yang cemerlang
Buat hari ku berwarna
Semua terasa indah dan sempurna
Entah apa yang salah
Kau pergi menjauh
Tinggalkanku disaat bunga merekah dalam hati
Apakah bunga ini akan layu kembali??
Ku tunggu dirimu
Menunggu dirimu kembali sentuh hati ini
Kembali cerahkan hariku
Kembali sirami bunga di hati
Tapii...
Ternyata kau tak pernah kembali
Tak menengok kembali kenangan kita
Tak ingat lagi akan diri ini
Haruskah aku lupakan semuanya?
Seakan kau hanyalah ilusi semata
Semuanya terlalu manis untuk dilupakan
Tapi terlalu sakit untuk diingat
Hatiku berdenyut sakit
Rindu akan hadirmu
Rindu akan senyum dan tawa mu
Rindu semua tentangmu dalam nafasku
Tirai kegelapan kembali menutup hatiku
Selimuti perasaan ini kembali
Mencoba menghadang kembali cinta
Karena bunga di hatiku telah mati
=> Hasil karya aku sendiri. :D
kumpulan tugas-tugas kuliah dan curahan hati ^o^ (Jika anda berkunjung ke blog ini, jangan lupa berkomentar dan jika copas, jangan lupa cantumkan sumbernya yaa^^)
Translate
Sabtu, 14 Desember 2013
Kamis, 12 Desember 2013
puisi puisi puisi ^^
~tanpa judul~
Akankah aku jadi gila??
Di himpit emosi tak bertuan.
Di tindih kebrutalan hidup.
Di jatuhi beban seberat gunung.
Sesak berat tak tertahankan.
Akankah aku sanggup lewati semua belukar ini?
Inginku lari dan tinggalkan semua.
Lepaskan semua beban di atas pundak ini.
Terbang lewati awan dan capai langit tertinggi.
Tapi kenyataan menghempaskan diri ini.
Kembali menapaki tanah keputus asaan.
Kembali menjalani kejenuhan hari.
Kembali menghadapi kegilaan ini.
Pada akhirnya diri ini harus dapat berkompromi.
Berkompromi dengan kenyataan hidup.
Menelan semua sendiri tanpa kawan.
Merasakan pahit getirnya kenyataan.
Berjuang menaklukkan kegilaan dalam diri.
Mengalahkan amarah dan kedengkian hati.
Mencoba berdiri tegak hadapi semua.
Dengan doa dan tafakur di hadapan Tuhan Yang Maha Agung.
Akankah aku jadi gila??
Di himpit emosi tak bertuan.
Di tindih kebrutalan hidup.
Di jatuhi beban seberat gunung.
Sesak berat tak tertahankan.
Akankah aku sanggup lewati semua belukar ini?
Inginku lari dan tinggalkan semua.
Lepaskan semua beban di atas pundak ini.
Terbang lewati awan dan capai langit tertinggi.
Tapi kenyataan menghempaskan diri ini.
Kembali menapaki tanah keputus asaan.
Kembali menjalani kejenuhan hari.
Kembali menghadapi kegilaan ini.
Pada akhirnya diri ini harus dapat berkompromi.
Berkompromi dengan kenyataan hidup.
Menelan semua sendiri tanpa kawan.
Merasakan pahit getirnya kenyataan.
Berjuang menaklukkan kegilaan dalam diri.
Mengalahkan amarah dan kedengkian hati.
Mencoba berdiri tegak hadapi semua.
Dengan doa dan tafakur di hadapan Tuhan Yang Maha Agung.
Kamis, 21 Maret 2013
Politik Islam
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Membahas mengenai politik maka
dengan otomatis membahas masalah negara. Banyak studi dan kajian yang dilakukan
para ahli terhadap masalah politik, dikarenakan begitu kompleksnya masalah
politik tersebut. Hal ini antara lain disebabkan karena masalah politik selalu
mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Agama Islam sebagai ajaran yang
mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh, diyakini mengandung kajian masalah politik dan kenegaraan. Di
dalam Al-Qur’an tertuang prinsip-prinsip politik yang menjadi dasar politik
Islam.
B.
Rumusan Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam menyusun makalah
ini, maka penulis merumuskan masalah-masalah yang akan di bahas, diantaranya :
1.
Apa
itu politik Islam ?
2.
Apa
saja karakteristik dari politik Islam ?
3.
Bagaimana
kondisi politik pada masa Rasulullah ?
4.
Bagaimana
perkembangan politik Islam di Indonesia dari masa ke masa ?
5.
Apa
pandangan syari’ah, fiqh, fatwa, qanun, dan qadha mengenai politik ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Politik Islam
Secara bahasa,
politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang berarti kota atau negara kota.
Sedangkan dalam bahasa Arab, politik disebut dengan siyasah yang secara harfiah
berarti mengurus, memimpin atau mengendalikan.
Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadarminta, politik adalah pengetahuan
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan,
dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan
dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan
sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.[1]
Pada dasarnya
politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan politik sama seperti
membicarakan negara atau tata pemerintahan, karena teori politik menyelidiki
negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat. Selain itu,
politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara,
hakekat negara serta bentuk dan tujuan negara.[2]
Dalam Islam, politik ini disebut dengan
Siyasah Syari’iyyah yang berarti ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah
kenegaraan yang berdasarkan syari’at Islam. Berdasarkan hadist Rasulullah SAW.
: “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul
anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak
ada nabi setelahku, namun akan banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa politik dalam Islam itu mengenai mengurusi urusan masyarakat,
dengan memperhatikan kondisi masyarakat dan menghilangkan kekuasaan yang
dzalim.
B.
Karakteristik Politik Islam
Menurut
Abu Ridha, karakteristik politik Islam itu setidaknya ada sebelas
karakteristik, yaitu[3]
:
1.
Rabbaniyah
Yaitu dalam penyusunan sistemnya,
politik islam ini bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Para pelaku
politiknya pun berpolitik dengan tujuan untuk mencari keridhoan dari Allah SAW.
2.
Syariyah
Maksudnya semua penerapan kekuasaan
siasah harus memperoleh legalitas syariah.
3.
Seimbang
Yaitu seimbang antara urusan dunia dan
akhirat, karena ajaran Islam meliputi semua sisi kehidupan manusia.
4.
Adil
Tegaknya keseimbangan sangat bearkaitan dengan tegaknya keadilan.
Sedangkan tegaknya keadilan merupakan syarat lahirnya kesejahteraan suatu
negeri. Dengan begitu maka dapat dikatakan keadilan sebagai pusat gerak dari
nilai-nilai moral yang pokok, haruslah menjadi poros akitivitas kemanusiaan,
baik aktivitas yang menyangkut persoalan individu ataupun kemasyarakatan.
5.
Moderat
(Wasathiyah)
Yaitu sifat pertengahan, maksudnya politik Islam tidak berlebihan
dalam satu sisi aktivitas berpolitik dan tidak pula mengabaikannya.
6.
Alamiah
dan manusiawi
Kealamian dan kemanusiawian politik Islam dapat dirunut melalui
doktrin Islam tentang kekuasaan. Dalam pandangan Islam kekuasaan mutlak,
hanyalah milik Allah SWT. Atas dasar ini maka politik Islam identik dengan
pelestarian keteraturan alam yang telah diciptakan Allah SWT. Oleh sebab itu segala
aktivitasnya selalu bersifat alamiah.
7.
Egaliter
Dalam kajian sosial egalitarianisme dipahami sebagai sebuah
pandangan yang meyakini bahwa semua manusia itu sederajat dan harus
diperlakukan sama dalam kebebasan, hak-hak, penghargaan, penerimaan, kesempatan
dan lain-lain.
8.
Memerdekakan
Watak politik Islam yang alamiah, manusiawi dan egaliter
berkonsekuensi pada menjunjung tinggi nilai-nilai kemnusian universal.
Kemerdekaan adalah salah satu nilai kemanusiaan paling fundamental.Adapun
kemerdekaan atau kebebasan yang ditekankan dan dilindungi oleh politik Islam
ialah kebebasan yang bertanggung jawab, atau kebebasan yang dilaksanakan atau
dinyatakan dalam rangka rasa tanggung jawab.
9.
Bermoral
Moral dan upaya menjunjung tinggi akhlak mulia menjadi
karakteristik politik Islam yang penting, karena moral dan akhlak menjadi
ukuran tingkat keimanan dan keislaman seseorang. Moral dan akhlak yang mulia
haruslah selalu melekat dalam setiap aktivitas politik seorang muslim, baik dia
sebagai pemimpin ataupun sebagai rakyat.
10.
Orientasi
Ukhrawi
Politik Islam mengorientasikan pengelolaan peradaban di dunia
sekarang ini, baik secara teoretis ataupun secara praktis, adalah untuk
terwujudnya kebahagiaan hidup di akhirat nanti. Hal ini tercermin dalam tujuan
politik Islam, yaitu terciptanya kehidupan yang sejahtera dunia dan akhirat.
11.
Orientasi
Pelayanan
Politik Islam tidak hanya berorientasi kekuasaan, justru secara
fundamental aktivitas politik Islam harus memiliki tanggung jawab dalam
memerhatikan dan melayani semua yang berada dalam kekuasaannya, terutama mereka
yang lemah secara sosial dan ekonomi.
C.
Politik pada Masa Rasulullah SAW.
Misi Rasulullah
membawa bangsa Arab ke jalan kebenaran langsung berhadapan dengan
kendala-kendala politik. Kepala-kepala Kabilah yang melakukan konfederasi dalam
memimpin masyarakatnya, secara keseluruhan menentang dakwah Nabi Muhammad SAW.[4]
Setelah Abu Thalib
dan Khadijah meninggal pada tahun ke-10 kenabian, oposisi pihak Quraisy kepada
Rasulullah dan para pengikutnya yang belum banyak itu semakin gencar. Sehingga
Nabi memilih untuk hijrah ke Yastrib yang kemudian diganti menjadi Madinah pada
12 Rabi’ul Awal 1 H.[5]
Sambutan penduduk Madinah
kepada Nabi sangat baik khususnya keluarga Bani Aus dan Khazraj. Akan tetapi
berbeda dengan Mekkah yang dikuasai suku Quraisy yang relatif homogen, penduduk
Madinah bercorak heterogen. Pada saat itu, penduduk Madinah terdiri atas[6]:
· Muslim pendatang dari Mekkah (kaum Muhajirin).
· Muslim Madinah (kaum Anshar) yang terdiri atas suku Aus dan suku
Khazraj,
· Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menyembah berhala, tetapi
kemudian masuk Islam, yaitu bani Qainuga, bani Nadhir, bani Quraizhi, serta
subsuku-subsuku lainnya.
Pada tahun 622 M, Nabi Muhammad SAW.
mengeluarkan Piagam Madinah yang ditujukan kepada kaum Muhajirin, Anshar, dan
kaum Yahudi. Piagam ini sering juga disebut dengan Dustur Madinah, UUD Madinah,
atau Konstitusi Madinah.[7]
Ada dua landasan bagi
kehidupan bernegara yang diatur dalam Piagam Madinah, yaitu[8]:
a)
Semua
pemeluk Islam adalah satu umat walaupun
mereka berbeda suku.
b)
Hubungan
antara komunitas muslim dan nonmuslim didasarkan pada prinsip: bertetangga
baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang
teraniaya, saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama.
Secara
strategis, piagam ini bertujuan untuk terciptanya keserasian politik dengan
mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya. Piagam ini
juga dapat dikatakan bersifat revolusioner karena menentang tradisi kesukuan
yang saat itu berkembang di Jazirah Arab, yaitu dengan menyebutkan bahwa semua
pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka (kaum Muhajirin dan Anshar)
berbeda suku. [9]
Pada masa Nabi
Muhammad SAW., struktur politik masih sangat sederhana. Kedudukan Nabi Muhammad
SAW. sangat khusus. Nabi Muhammad memegang otoritas ukhrawi (sebagai rasul) dan
otoritas duniawi (sebagai kepala negara dan hakim). Pada masa Nabi Muhammad
SAW-lah ditemukannya lembaga baitul mal (kas negara) yang berfungsi sebagai
pengumpulan zakat dan harta pampasan perang.[10]
Sistem
pemerintahan pra Islam di Wilayah Jazirah Arab berbeda-beda, sesuai dengan
faktor geografis dan faktor kesejarahan daerah pedalaman dan perkotaan. Daerah
pedalaman ditandai oleh kepemimpinan absolute kepala suku dan kepatuhan seluruh
anggotanya. Sedangkan untuk daerah perkotaan, dibagi dua yaitu bagian utara
(Yaman dan sekitarnya) dengan selatan (Hijaz). Di bagian utara, kesatuan
politiknya relatif utuh, ditandai dengan adanya penguasa yang harus ditaati dan
ada perundang-undangan. Sedangkan di bagian selatan belum seperti itu, kota-kota
di bagian selatan pun seperti, Mekkah, Madinah dan Thaif memiliki otonomi tersendiri
yang selalu diwarnai dengan pertikaian dan pesaingan.[11]
Nabi Muhammad
sebagai kepala negara, tidak pernah berusaha untuk merubah keseluruhan sistem
pemerintahan tersebut. Ajaran-ajaran Islam yang dibawa Nabi, diharapkan menjadi
landasan ideologis pelaksanaan pemerintahan sehingga sistemnya tidak berubah,
akan tetapi isinya berubah. Jika pada saat sebelumnya yang mempersatukan mereka
adalah ikatan kesukuan, maka setelah kedatangan Islam, yang mempersatukan
mereka adalah ikatan keagamaan.[12]
Saat menjalankan
perannya sebagai kepala negara, dalam megambil keputusan, Nabi Muhammad SAW.
ada kalanya Nabi berkonsultasi dengan para sahabat senior yang merupakan
ahlul-halli wa-aqdi, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan Nabi. Ada
kalanya Nabi tidak berkonsultasi dengan para sahabat, dan ada kalanya pula
dituntun oleh wahyu sebagai solusi bagi masalah tertentu.[13]
D.
Perkembangan
Politik Islam di Indonesia.
1.
Pada masa Orde Lama.
Suasana
sosial-politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan
tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara kelompok
Islam dan kelompok nasionalis. Kelompok Islam menjadikan Masyumi sebagai
organisasi politik untuk menyuarakan aspirasi mereka. Pada pemilihan umum di
Jawa pada 1946, dan pemilihan umum di Yogyakarta pada 1951, Masyumi memperoleh
mayoritas suara mutlak atau paling tidak lebih banyak dibanding kontestan
lainnya.[14]
Akan
tetapi keutuhan Masyumi diuji dengan keputusan NU keluar dari Masyumi.
Perkembangan selanjutnya anggota-anggota yang menjadi pendukung Masyumi,
seperti Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, al-Ittihadiyah, al-Jami’ah al-Washliyah,
al-Irsyad, dan Persis keluar dari Masyumi. Akhirnya pada tahun 1960, Masyumi
dibubarkan oleh presiden sebagai akibat dari tuduhan presiden kepada para tokoh
Masyumi, terlibat dalam pemberontakan PPRI.[15]
Soekarno kemudian menggagas ide yang ingin menyatukan
paham Nasionalisme, Islam dan Komunisme (NASAKOM). Ide ini mendapat reaksi
keras dari umat Islam akan tetapi secara mengejutkan NU mendukung ide ini,
bahkan NU member gelar Waliyyul Amri Dharury bisy Syaukah kepada Soekarno.
Pada masa
ini, peranan partai Islam mengalami kemerosotan. Soekarno semakin
memperlihatkan otoritasnya sebagai penguasa. Pancasila ditafsirkan sesuai
keinginannya. PKI pun muncul sebagai partai yang kuat dengan mulai melakukan
maneuver-manuver politiknya.
2.
Pada Masa Orde Baru.
Masyumi yang
telah diberhentikan pada masa Orde Lama, mengajukan untuk direhabilitasi namun
ditolak oleh pemerintah. Sebagai kompensasinya pemerintah mengizinkan pendirian
partai baru untuk menampung para mantan aktivis Masyumi. Nama partai tersebut adalah
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan pimpinannya Hadikusumo dan Lukman
Harun.
Seiring dengan
berjalannya waktu, pemerintah Orde Baru semakin memperlihatkan sikap
represifnya terhadap kaum muslimin. Setiap organisasi Islam harus mengganti asas
organisasinya dengan asas tunggal Pancasila, dan partai yang dibolehkan haya
tiga partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar)
dan Partai Demokrasi Indonesia.[16]
Menurut Din
Syamsudin, agenda politik Orde Baru mencakup depolitisasi Islam. Proyok ini,
menurutnya, didasarkan pada anggapan bahwa Islam yang kuat secara politik akan
menjadi hambatan bagi modernisasi.Dengan mendepolitisasi Islam, mereka akan
mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Jadi
dapat dikatakan, pada masa Orde Baru ini, Islam secara politik medapatkan
tekanan dari berbagai sudut.
3.
Pada Masa Reformasi
Pada masa
reformasi, demokrasi telah diterapkan secara meluas. Hal itu tercermin dari
kebebasan mendirikan partai politik, tidak terkecuali
partai-partai Islam. Hal ini mempengaruhi ulama untuk kembali aktif di dunia
politi dengan terjun langsung untuk memenangkan partai tertentu sesuai dengan
posisinya.[17]
Pemilu 1999 telah membawa ulama ikut kembali secara
mandiri di dalam pemerintahan, sehingga beberapa ulama telah duduk di
legislatif. Peran ulama dalam politik terus berlanjut. Pada tahun 2008,
terpilih Ahmad Heriawan dan Dede Yusuf sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa
Barat. Mereka adalah calon dari partai Islam, yaitu Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) dan partai berbasis massa Islam, Partai Amanat Nasional. Dapat dikatakan
pada masa Reformasi, politik Islam mengalami kemajuan dibandingkan pada masa Orde
Lama dan Orde Baru.
E.
Politik
dalam pandangan syari’ah, fiqh, fatwa, qanun, qadha.
1.
Politik dalam
pandangan syari’ah.
Dalam
bahasa Arab, politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah, dari akar kata
sasa-yasusu yang berarti mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dalam
Al-Quran tidak ditemukan kata yang
terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun bukan berarti Al-Quran tidak
menguraikan soal politik. Uraian Al-Quran tentang politik secara sepintas dapat
ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Dari akar kata yang sama
terbentuk kata hikmah yang bermakna sejalan dengan kata sasa-yasusu-sais
siyasat, yaitu mengemudikan, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.[18]
Dalam
Al-Qur’an ditemukan dua puluh kali kata hikmah, kesemuanya dalam konteks
pujian. Slah satu di antaranya adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 269:
ÎA÷sã spyJò6Åsø9$# `tB âä!$t±o 4 `tBur |N÷sã spyJò6Åsø9$# ôs)sù uÎAré& #Zöyz #ZÏW2 3 $tBur ã2¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÏÒÈ
Allah menganugerahkan Al Hikmah
(kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).
2.
Politik
dalam pandangan fiqh.
Politik
di dalam fiqh, terdapat bahasan tersendiri, yaitu fiqh siyasah. Di dalam fiqh
siyasah ini siyasah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
·
Siyasah
dusturiyah, siyasah yang membahas mengenai peraturan dasar tentang bentuk
pemerintahan dan batasannya, hubungan antara rakyat dengan penguasanya dan
segala rutinitas politik di dalam suatu negara.
·
Siyasah
maliyah, siyasah yang membahas mengenai peraturan perekonomian yang bersifat
publik.
·
Siyasah
dauliyah, siyasah yang membahas mengenai peraturan pergaulan internasional.
3.
Politik dalam
pandangan fatwa.
Fatwa dari
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mengenai pengajuan calon legislatif
untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menurutnya :
“Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung
pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu
tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela
kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela
kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT. “ [19]
4.
Politik dalam
pandangan qanun.
Contoh
Qanun mengenai politik, yaitu Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang partai
politik lokal peserta pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.
5.
Politik dalam
pandangan qadha.
Ada dua
orang yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan Islam dalam berbagai hal
ialah, khalifah dan Qadhi (hakim). Khalifah menjalankan hukum-hukum Islam dan
menerapkannya kepada seluruh rakyat, sedangkan hakim mengambil putusan-putusan
secara Islami untuk kondisi-kondisi yang berbeda berdasarkan sumber-sumber (seperti
Al-Qur’an, As-Sunnah dan segala sesuatu yang berasal dari keduanya) dan
menggunakannya. Karena itu peradilan merupakan salah satu pilar fundamental
dalam negara Islam dan diatas hal inilah sistem pemerintahan disandarkan
sebagai bagian implementasi Islam dalam kehidupan politik.[20]
BAB
III
KESIMPULAN
1)
Politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti
tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula
berarti segala urusan dan tindakan
(kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau
terhadap negara lain, berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S.
Poerwadarminta. Sedangkan dalam Islam, politik adalah mengenai mengurusi urusan masyarakat, dengan memperhatikan
kondisi masyarakat dan menghilangkan kekuasaan yang dzalim.
2)
Karakteristik politik Islam menurut Abu Ridha
adalah, rabbaniyah, syariyah, seimbang, adil, moderat (wasathiyah), alamiah dan
manusiawi, egaliter, memerdekakan, bermoral, orientasi ukhrawi, orientasi
pelayanan.
3)
Pada
masa Nabi Muhammad SAW., struktur politik masih sangat sederhana. Kedudukan
Nabi Muhammad SAW. sangat khusus. Nabi Muhammad SAW. memegang otoritas ukhrawi
(sebagai rasul) dan otoritas duniawi (sebagai kepala negara dan hakim).
4)
Politik Islam di Indonesia pada masa Orde Lama
dan Orde Baru banyak mendapat tekanan, walaupun tidak secara terang-terangan.
Berbeda dengan masa Orde Lama maupun Orde Baru, pada masa Reformasi, politik
Islam mulai berkembang. Hal ini terlihat dengan berjamurnya partai-partai
politik yang berbasis Islam.
5)
Beberapa pandangan mengenai politik:
·
Syari’ah : Uraian mengenai politik dalam
Al-Qur’an dapat dipahami dalam kata-kata hukum atau hikmah.
·
Fiqh : Politik dalam fiqh memiliki bahasan
tersendiri, yaitu dalam fiqh siyasah.
·
Fatwa : Fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz yang menyatakan bahwa boleh untuk mencalonkan menjadi anggota
parlemen asal alasannya memang benar dan bermaksud baik.
·
Qanun : Qanun Aceh
Nomor 3 Tahun 2008 tentang partai politik lokal peserta pemilihan umum anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.
·
Qadha : Peradilan
merupakan salah satu pilar fundamental dalam negara Islam dan diatas hal inilah
sistem pemerintahan disandarkan sebagai bagian implementasi Islam dalam
kehidupan politik.
DAFTAR
PUSTAKA
Azis Thaba, Abdul. Islam
Dan Negara Dalam Politik Orde Baru. 1996. Jakarta. Gema Insani Press.
Ridha, Abu. Karakteristik
Politik Islam. 2004. Bandung. Syaamil Cipta Media.
Rosyada, Dede. Hukum
Islam Dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III). 1993. Jakarta.
RajaGrafindo Persada.
Syafii Maarif, Ahmad.
Islam Dan Politik : Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965).
1996. Jakarta. Gema Insani Press.
Winarno, Budi. Sistem
Politik Indonesia Era Reformasi. 2008. Yogyakarta. MedPress.
http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172036-definisi-politik-islam/
http://muhammadaiz.wordpress.com/materi-peradilan-islam-di-indonesia/
http://taufiqmtk08.wordpress.com/2009/04/21/pandangan-islam-terhadap-politik/
http://www.warta.uika-bogor.ac.id/2011/07/islam-di-indonesia-masa-orde-lama-orde.html
[1] http://kamalsukses.blogspot.com/2012/01/makalah-politik-islam.html
[2] http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172036-definisi-politik-islam/
[3]
Abu Ridha, Karakteristik Politik Islam, 2004, Bandung : PT. Syamil Cipta
Media, hlm. 11-171
[4] Drs.
Dede Rosyada, M.A., Hukum Islam dan Pranata Sosial, 1995, Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, hlm. 164.
[5]
Dr. Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965), 1965, Jakarta : Gema Insani Press, hlm. 141-142.
[6]
Drs. Abdul Azis Thaba, M.A., Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, 1996,
Jakarta : Gema Insani Press, hlm. 97-98.
[7] Ibid,
hlm. 98.
[8] Ibid.
[9]
Dr. Ahmad Syafii Maarif, op. cit., hlm.147.
[10]
Drs. Abdul Azis Thaba, M.A., op. cit., hlm. 96.
[11] Ibid,
hlm. 97.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] http://www.warta.uika-bogor.ac.id/2011/07/islam-di-indonesia-masa-orde-lama-orde.html
[15]
Ibid.
[16] Ibid.
[18] http://taufiqmtk08.wordpress.com/2009/04/21/pandangan-islam-terhadap-politik/
[19] http://taufiqmtk08.wordpress.com/2009/04/21/pandangan-islam-terhadap-politik/
[20] http://muhammadaiz.wordpress.com/materi-peradilan-islam-di-indonesia/
Langganan:
Postingan (Atom)